Oleh Hamidulloh Ibda
Direktur Utama Forum Muda Cendekia (Formaci) Jateng
Saya kadang tertawa tanpa henti ketika ada orang muslim
mengatakan orang kafir adalah orang non-muslim, termasuk Ahok. Maka, sebagian
orang yang mengatasnamakan Islam pun berduyun-duyun mendemo Ahok untuk turun
dari jabatan Gubernur DKI Jakarta dan mengharamkan dia Nyagub di Pilkada
Jakarta 2017.
Dalam Islam, idiom kafir memang banyak tafsir. Tapi yang
jelas, "kafir" dengan "tafsir kafir" jelas berbeda. Sama
halnya "Islam" dengan "tafsir Islam" jelas beda. Kemudian
juga "manis" dengan "tafsir manis" berbeda pula.
Kafir, berasal dari bahasa Arab yang berasal dari
"kafir-kuffar". Kita tidak bisa mendefinisikan kafir hanya dari
epistemologi saja, namun harus belajar soal antropologi, filologi dan sejarah
kata kafir itu sendiri.
Dulu, saat awal-awal Islam tumbuh sekira abad 7 Masehi, kata
kafir adalah datang dari para petani. Istilah "kafir" berarti
"menutupi". Sebab, pekerjaan petani adalah menutupi tanah atau sawah
dengan tanaman. Maka, kafir itu diartikan sebagai "aktivitas menutupi".
Lalu, apakah petani itu kafir? Saya jawab benar. Namun,
dalam konteks budaya saja, bukan konteksi teologi atau ketuhanan.
Kafir adalah bahasa budaya. Setelah lambat laun, istilah
kafir justru melekat pada dunia ketuhanan. Sebab, saat ini banyak yang menutupi
kebenaran Allah dan kebenaran Islam. Jadi kafir di sini adalah
"orang-orang yang menutupi kebenaran Allah". Ia disebut kafir.
Sama seperti kufur nikmat, berarti mereka menutupi nikmat
yang sudah diberikan Tuhan kepada dirinya. Ia disebut kufur nikmat.
Asumsi kata kafir, kemudian juga melebar dalam Bahasa
Inggris yaitu "cover". Jadi cover itu adalah penutup isi buku atau
suatu makalah atau jenis kertas yang dijilid. Kalau kafir itu adalah menutupi
kebenaran, kalau cover menutupi segala sesuatu yang melekat dengan dia.
Nah, sekarang sudah ketemu apa itu kafir, cover dan kufur.
Dus, saya kembali bertanya, apakah orang yang non Islam itu kafir?
Post A Comment:
0 comments: