Oleh M Yudhie
Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre
Apa dosa terbesar pemerintahan Indonesia terhadap warganya sejak Orde
Baru? Adalah beragama "pertumbuhan." Iman pada pembangunan berdimensi
pertumbuhan inilah "dosa asal dan dosa induk" yang tak banyak
dipahami presiden-presiden kita.
Ilusi
pertumbuhan itu memabukkan. Ia jadi mantra sakti para agen kolonial saat
merampok suatu negara. Ia jadi azimat kurap para begundal saat menipu suatu
bangsa. Mereka berfatwa, "hanya dengan pertumbuhan" suatu bangsa bisa
sejahtera!
Pertumbuhan
ekonomi pada awalnya diartikan sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu
perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional.
Dus,
pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.
Tetapi, dalam perkembangannya, teori pertumbuhan ini menikah dengan matematika
sehingga melahirkan anak haram ekonometrika. Satu kurikulum baru di mana semua
hal ikhwal pembangunan diukur dengan sendi angka-angka minus kemanusiaan.
Karenanya,
roadmap pertumbuhan adalah penanaman modal asing dan penciptaan hutang luar
negeri. Akibatnya terjadi serbuan investor asing-aseng yang tak peduli dng
nilai-nilai lokal. Tanpa disadari, kebijakan penarikan investor ini
mengakibatkan undang-undang Indonesia (yang mengatur arus modal) menjadi paling
liberal di dunia internasional. Saat yang sama juga menghasilkan intensifikasi
pertanian dan deindustrialisasi nasional plus penggadaian murah aset strategis
(BUMN).
Hilirnya
adalah pemerintahan sentralistik yang buas, lahirnya kota-kota baru, urban,
kemacetan, kebusukan, banjir dan keruwetan tiada tara. Yang dikejar adalah
akumulasi angka, deret ukur, grafik-grafik yang ilusif dan cenderung
manipulatif. Orientasinya kapital. Yang dipuja harta benda. Yang dipeluk gengsi
dan citra.
Akibatnya,
pemerintah absen di mana saja. Pemerintah lupa membangun tata kelola yang
bersih, efektif, demokratis dan amanah yang memberikan prioritas pada upaya
memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan
melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu,
dan lembaga perwakilan.
Pemerintah
lupa membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan
desa dalam kerangka negara kesatuan. Lupa memeratakan pembangunan. Mereka lebih
sibuk melayani seponsore dan pendukung sambil mengkhianati konstitusi.
Dengan
pertumbuhan itu, memang ada prestasi besar tiap rezim di Indonesia. Dan,
prestasi terbesarnya adalah mewariskan ketimpangan. Inilah penyebab stabil dan
bertahannya kemiskinan, kebodohan, kesakitan, konflik, kemandulan inovasi dan
ketergantungan plus ketidakmandirian/ketidakdaulatan yang kita nikmati bersama
(8K).
Ketimpangan
itu bisa diukur dlm banyak metoda. Salah satunya rasio gini dan prosentase
pendapatan. Riset kami menunjukkan bahwa 0.8% rumah tangga terkaya di Indonesia
menguasai 60% dari total kekayaan negeri ini. Itu artinya kekayaan 9000T yang
ada maka hampir 5000T ada di tangan 2juta orang saja.
Dan 10%
konglomerat menguasai 80% total kekayaan republik. Itu artinya 100 konglomerat
menguasai hampir 7000T di semua lini bisnis mereka. Para konglomerat itu
mengakumulasi uangnya via bisnis legal (25%) dan illegal (75%). Legal artinya
bisnis yang berhubungan dengan APBN dan bayar pajak. Illegal artinya bisnis
haram (narkoba, pelacuran, judi, penyelundupan dll) dan tak bayar pajak. Kini,
nilai konsumsi 10% konglomerat sama dengan 55% warga miskin. Dan, konglomerat
asli Indonesia hanya 0.7%. Sisanya asing dan aseng.
Dari data ini,
kita mau apa? Sibuk lempar kursi, berziarah, kutip-kutip kitab suci, mimpi dana
revolusi dan mengkader kriminal begundal muda sambil membiarkan begundal tua
mencopet di gedung-gedung dewan atau bagaimana?
Yang jelas,
ide pemerataan raib. Musnah ditelan keluguan dan blusukan. Karenanya, kita kini
masih menunggu solusi cerdas dari kalian sambil mari bergandengan tangan
melawan dan mengubur pokok penyebab gagalnya kita menjadi pahlawan
warganegara.(*)
Post A Comment:
0 comments: