Selamat pagi Kak. Jelas ini pagi. Matahari menelusup lewat
celah-celah kecil jendela kamarku, dulunya kamar ini ialah kamarmu. Jendela itu
menghadap ke timur, mau tak mau harus bangun pagi kalau menghuni kamar ini.
Kak, kau bilang dulu tak suka bangun pagi, itu adalah alasan kau bertukar kamar
dengan aku. Bekas kamarmu ini, 2X lebih besar dari kamarku yang seharusnya. Ada
lemari besar, ranjang besar dengan 4 bantal bersisian dan tembok yang berwarna
hijau. Yang hijau ini adalah permintaanku dulu. Ahh, satu-satunya ruang yang
berwarna dalam rumah ini adalah kamarku. Ruang lainnya, bahkan ruang keluarga
pun semua berwarna putih. Putih itu entah melambangkan kesucian ataukah
kehampaan. Berbeda, aku selalu berbeda atau tepatnya minta dibedakan. Anak
kecil, anak manja! Kau menyebut aku begitu, dari dulu dan mungkin sampai pada
keadaan yang sekarang.
Pagi ini aku terbangun dengan rasa sesak, rasa semacam hampa
dalam dada. Rasa inilah yang membuat aku datang, pulang ke rumah. Tak perlu
pikir panjang, mendadak aku teringat Ayah dan kau pula Kak. Aku tak paham apa
sebabnya, apa masalahnya mengapa dadaku jadi segini pilunya. Berat sangganya.
Apa kau bisa menjelaskan padaku, aku ini kenapa Kak. Coba jelaskan mengapa
sekarang waktu seolah berjalan lambat, setiap detiknya menghunus sembilu dalam
detak-detakku. Tik-tok-tik-tok begitu bunyinya. Jika aku adalah jam, jam yang
kehabisan baterai, aku akan berhenti di angka bagian mana? Di tik atau tok? Aku
ini pulang kesekian kalinya, dan kau masih bermuram durja.
***
“Pergi sana, ini acara yang ingin aku tonton!” Katamu Kak.
“Ada barbie di TV, tadi aku melihatnya di rumah Bibi”
“Nonton saja di rumah Bibi” Ketus jawabmu.
Waktu itu aku belum sekolah, kira-kira umurku empat dan kau
sepuluh Kak. Baru saja aku pulang bermain dari rumah bibi Ati, sekilas melihat
tayangan barbie di TV. Lalu aku cepat-cepat berlari ingin menonton di rumah.
Dan ada kau yang memegang kendali atas televisi, Kak.
“Ganti ke barbie Kak” Aku terus merengek.
“Jangan ganggu aku!”
Aku terus merengek, merengek dan merengek lagi. Itu pasti
sangat mengganggumu kan Kak? Kau ingat tidak, kecil dulu kau nampak jahat.
“Hahhh berisik kamu tuh” Kakakku berteriak, itulah kau.
Plakkk.
Suara melengking tangisan seorang bocah perempuan memecah
udara, memekakan telinga seorang anak yang sedang marah. Aku Kak, kau lempar
remot TV tepat di kepala. Bila kau masih ingat, kepalaku sampai berdarah.
“Krisan! Kamu ...” Tergopoh panik Ibu datang. Waktu itu Ibu
kita masih hidup dan mencurahkan seluruh kasih sayangnya pada kita, meski kau
bilang selalu Ibu lebih sayang padaku.
“Dasar cengeng! Aku benci punya adik!” Katamu pekak, lalu
pergi.
“Krisan, kamu tidak boleh seperti ini sama Rana. Rana ini
adikmu, kamu harus jaga dia” Percuma ibu mengucapkan hal itu, kau sudah
melenggang entah, Kak.
Kakakku sedang marah. Kau, kak. Tapi, ujungnya kau merelakan
televisi itu untuk aku tonton kan. Pada kondisi seperti itu, bukan kau yang
jahat melainkan aku. Ada cerita lagi, bila kau masih ingat ini. Mendiang Ibu
mengajak aku ke pasar, itu kali pertama aku berkeliling lebih dari tujuh
keliling mengitari seluruh isi pasar. Ibu sampai lelah mengikuti setiap langkah
kecilku. Tak lekas ibu lepas genggaman tangannya, sekalinya lepas, kalau tidak
ujung-ujung bajuku yang dipeganginya, maka rambut kuncir kudaku yang
ditarik-tarik Ibu. Betapa lucunya, atau menyebalkan.
“Bu... Bu...” Aku menunjuk sesuatu di dalam etalase sebuah
toko, “Belikan itu ya, barbie yang warna biru”
Ibu menghela nafas, sebentar berfikir dan diam, namun tak
lama-lama sebab rengekanku sudah pasti membuyarkan upaya Ibu untuk konsentrasi.
“Rana, kamu kan sudah punya boneka di rumah”
“Rana mau itu” Terus merengek, Aku.
Rasanya setengah jam aku merengek, atau lebih. Terpaksalah
Ibu membelikan boneka yang aku mau. Ketika di rumah, kau tau sudah kalau aku
dibelikan mainan baru, kau marahlah Kak.
“Semua yang Rana mau dikasih sama Ibu”
“Kris, Rana masih kecil”
“Ibu lebih sayang pada Rana, Krisan Tidak” Kau berteriak,
marah.
Aku baru tau kalau tempo hari pada masa itu, kau minta
dibelikan Tamiya, mobil-mobilan yang bisa melesat cepat dengan suara ngung
yang keren. Berhari-hari kau merengek dalam bisu, tetap saja Ibu tak mau
menurutimu.
“Tamiya akan membuat kamu lupa belajar, Kris. Lagipula
bermain dengan adikmu Rana bukankah lebih menyenangkan. Jaga adikmu itu
baik-baik”
Jelas bukan, aku yang jahat. Kau tidak, Kak.
***
Krisan artinya emas. Nama yang bagus kan. Krisan juga
merupakan nama sebuah bunga, bunga Krisan yang berwarna-warni, tapi aku paling
suka yang berwarna putih. Kris dari bahasa Yunani artinya emas, sedangkan Rana
artinya perempuan dalam bahasa sanskerta. Aku tidak pernah bilang ‘ini’ ke
siapapun Kak, bagiku kau lebih dari emas, kilaumu dan hargamu. Bila emas ternilai,
kau tak ternilai dengan bilangan apapun. Apapun bahkan bila-bila-bila yang
mana-mana. Bila bobot emas dihitung dari gram dan karat, kau lebih dari satu
milyar gram dan lebih lekat dari dua ratus karat. Kau kakakku, adalah subjek
sekaligus objek dalam hidupku, semenjak aku sadar aku telah banyak jahat pada
kau.
“Berangkat dan pulangnya selalu bareng ya, Kris jaga adikmu”
Tutur mendiang Ibu setiap pagi, tiap kali mengelus kepala, rambut dan pipi aku
juga kau bergantian. Kala itu, aku SMP kelas dua, kau SMA kelas tiga. Aku tau
kau sebal Kak, pergi-pulang sekolah selalu bersama aku. Sedangkan kau ingin
pulang petang bersama kawan kau yang asyik itu.
“Kakakmu kan suka rendang ya, ibu mau buatkan” Kata ibu
suatu siang.
Siang itu begitu terang, itu adalah kata lain dari terik.
Panas-panas-gerah terasa tidak genah begitulah. Belakangan hari, kita
tak lagi pulang bersama Kak, aku pulang jam dua seperti biasa dan kau harus
pulang jam lima. Ujian nasional SMA sebentar lagi, sebulan atau dua bulanlah
kiranya. Kak Krisan, Kakak pasti lelah ya? Otakmu diperas oleh pelajaran bahasa
Indonesia yang tidak kau suka. Kau juga sepertinya tidak tertarik dengan
biologi bukan. Seringkali aku terheran-heran, kenapa kakakku amat pandai
mengitung rumus alfa, beta, gama dan sekawanannya yang entahlah. Aku saja tidak
suka.
Kepandaianamu bergelut dengan angka pastilah menurun dari
Ibu, sedangkan keahlianku main kata berasal dari Ayah. Emm, Ayah jelas dulu
banyak menggombali Ibu, surat-surat cinta bertumpuk di lemari bagian bawah
kamar Ayah buktinya. Menurut cerita yang dikisahkan oleh Ibu dulu, Ayah banyak
mengirimkan surat rayuan ialah supaya Ibu mau mengajarkan fisika matematika dan
sejenis mata angka lainnya. Jatuhnya, dua-dua diantara mereka malah jatuh
cinta, menikahlah akhirnya. Diam-diam, aku membaca surat-surat itu, lalu aku
banyak tertawa. Geli rasanya.
“Sebentar lagi kak Krisan kuliah, mau kuliah dimana dia,
Bu?”
“Krisan tidak bilang mau kuliah di kota mana, kakakmu hanya
bilang berkeinginan kuliah di jurusan teknik mesin, Ran” Ibu sibuk ini-itu
menyiapkan makanan.
Ada semacam bau-bau aneh saat itu, ketika aku bilang pada
ibu, ibu jawab tak mencium apa-apa yang aneh, malahan yang dicium ialah wangi
bunga sedangkan hidung mudaku mencium bau gas yang agaknya membuar di udara,
bocor.
“Mandi sana” Suruh Ibu.
Siang menjelang sore itu memang gerah-gerah-genah,
dan rasanya juga amat lelah. Maka kuputuskan mandi seperti yang ibu anjurkan
supaya segar. Sekilas di ujung pandangku, Ibu pun nampak lelah.
Klekk. Aku menutup pintu kamar mandi, letaknya tak jauh dari
dapur.
Blaarr. Semua buyar, masakan ibu tak sempat jadi. Tak akan
pernah jadi.
Boommm ----
---
Matamu, mata Ayah juga mataku sembab tak karuan. Bola mata
kalian berdua gersang. Alat yang entah apa namanya, berbentuk kotak serta berbunyi
bip-bip-bip terus meracau di sampingku.
“Ibu meninggal,” Ungkap Ayah, “Dua hari lalu sudah
dimakamkan”
Sejak kalimat itu terucap, sebutan ibu mendapat imbuhan
menjadi Mendiang Ibu. Aku harusnya tak bangun selamanya, harusnya bukan koma
namun titiklah. Aku ingin menyusul Ibu saja, mungkin di alam baka aku akan
menjadi bayi lagi, menyusu hikmat pada ibu yang telah melahirkan serta
membesarkan aku juga kau dengan kasihnya.
Rumah kita hancur. Ibu kita juga hancur tubuhnya. Aku koma
dengan luka bakar empat puluh persen. Butuh biaya banyak untuk membagun
semuanya kembali.
“Ayah, Kris menunda kuliah dulu tidak apa-apa. Kris bisa
kerja”
Wajahmu yang teduh Kak, serupa cahaya dalam mati lampu
ketika kau mengucapkan kalimat itu. “Krisan tau, ini akan berat bagi kita
semua. Apalagi Ayah, pasti akan sangat berat. Dan kulit Rana harus kembali
seperti sedia kala”
Lain cerita, aku sudah lihat kamarmu yang tak seorangpun
boleh masuk. Termasuk Ayah ataupun mendiang Ibu. Dindingnya penuh coretan, ada
coretan kebencian banyak, keluh juga harapan.
Rana menyebalkan, aku benci punya adik perempuan
Ibu pilih kasih
Tidak ada yang benar-benar menyayangi aku
Rana tidak berguna
Hidupku sepi, Tuhan!!
Aku ingin damai
Aku tak berguna
F**k
Dan lain-lain.
Sakit membacanya, sebenarnya apa yang kau inginkan Kak? Bila
yang kau inginkan adalah kasih Ibu, bagaimana aku bisa menggantinya bila yang
dituju sudah tidak ada. Kini akau paham ketika seseorang bilang ‘sama saja’,
itu berarti ada tingkatan kadar yang berbeda dari sesuatu hal yang dibilang
sama. Manusia tidak bisa adil dan menyamakan tingkatan rasa dari apa yang ia
banding-bandingkan. Tidak ada yang bisa memungkiri itu meski setelah seseorang
ataupun kau sendiri Kak, membaca tulisan ini lalu mengelak. Mengelaklah terus
sampai lelah, sampai sadar kalau yang aku bilang adalah benar.
Sejak kecil, sejak kelahiranku mungkin, aku telah menggeser
banyak tatapan hangat yang mulanya tertuju dan terfokus hanya pada kau,
berganti dan terbagi ke arahku. Bagianku lebih banyak malah. Maafkan aku untuk yang
sudah-sudah sejauh ini.
Rumah kita kembali seperti sedia kala namun dengan nuansa
berbeda. Rasanya juga berbeda. Ayah tak pernah berfikir untuk menikah lagi. Pun
kau Kak, tiga tahun berselang setelah Ibu kita meninggal, setelah kau
mengalihkan rasa kehilanganmu dengan bekerja apa saja, kau akhirnya kuliah.
Sayangnya hanya sampai penghujung semester dua. Hanya satu
tahun. Saat itu aku lulus SMA, bertepatan dengan waktu yang sama untukmu
membayar biaya pendidikan. Urusan kuliah, Ayah bersikeras membiayai penuh kau
dan aku. Ayah bilang, hal itu merupakan kewajibannya dan beliau tidak mau
melepasnya sampai benar-benar tamat aku dan kau. Memiliki gelaran di belakang
nama.
Hanan Krisan, S.T. itu impianmu yang aku kandaskan. Ibarat
memasuki rumah hanya sampai pada halamannya, AHH.
“Katanya Rana ingin kuliah di Jogja, Yah” Ujar Kau suatu
hari.
“Iya Kris” Ayah menjawab singkat, dahinya bergurat.
“Ayah, Kris sudah bisa bekerja sendiri sejak lama”
“Lalu kenapa nak?”
“Rana lebih membutuhkan kuliah daripada Kris, Kris bisa
berhenti”
Ayah menggeleng pelan, mengusap pelupuk matanya yang agak
basah, kian hari pasti kian berat.
“Rana itu anak kecil,” Tambahmu, “anak kecil seperti Rana
butuh banyak teman untuk bersosialisasi. Kalau dia tidak kuliah, pasti dia akan
kesepian”
“Tidak hanya Rana, kamu juga harus tuntas kuliah nak” Ayah
menyergah.
“”Umur Kris sudah hampir dua tiga. Krisan sudah dewasa. Biar
Rana saja”
“Krisan”
“Krisan berhenti Yah!” Kau menegaskan.
Cuek, itulah yang aku lakukan saat mendengar percakapanmu
dengan Ayah dari balik pintu kamar yang sedikit terkuak. Aku belum peka waktu
itu, aku masih egois. Hanya peduli pada diriku sendiri, tak pernah memikirkan
perasaanmu Kak. Memang aku ini benar-benar anak kecil, tak lekas-lekas dewasa.
Rupanya, Kak, pesan yang disampaikan Ibu dalam setiap kalimatnya kau amalkan
benar-benar. Jaga Rana, jaga Adikmu. Iya, kau selalu mengsampingkan
dirimu dan mengutarakan aku dalam niat-niatmu.
***
Kota gudeg, aku disana meski sekalipun aku tak pernah
mencicipi gudeg itu sendiri. Aku tidak suka nangka muda, aneh saja mengetahui
nangka direbus. Aku lebih suka nangka yang matang sungguhan, warnanya kuning,
tidak pucat seperti nangka muda yang memiliki nama lain gori atau gari.
Suasana di kafe waktu itu riuh dengan nada-nada cakap serta
tawa renyah orang-orang. Aku amati bermacam-macam ekspresi selain tawa, ada
yang sendu, gulana, gembira sampai yang memasang ekspresi ngeri. Semua ada
malam itu, di kafe yang mana di dalamnya aku duduk di atas kursi kayu,
berpasangan dengan meja bertepian abstrak serta bertatapan dengan seorang
kawanku, perempuan yang bisa jadi menganggap aku ini adalah lawannya.
“Tamu kok belum minum apa-apa, Dek? Apa tidak haus?” Tanya
mbak Mirna. Matanya menyipit, sudah sejak sebelum aku datang dia sudah
memesankan aku minuman, juga snack ringan. Apa namaya ya, kalau tidak salah ice
green coffe dia bilang.
“Nanti saja, belum haus mbak”
Singkatnya, mbak Mirna adalah lebih tua kira-kira tiga tahun
dari aku. Dia adalah kakak tingkat di fakultas yang aku tempuh, Bang Hendra yang
mengenalkannya padaku. Ah, ya, aku lupa cerita soal yang satu ini Kak. Di kota
istimewa, aku dekat dengan seorang laki-laki, dia bernama Hendra, sosok yang
aku panggil abang sebetulnya, pada mulanya aku murni hanya menganggap dia
sebagai abang. Blak-blakan dia mengakui kalau dirinya suka, jatuh cinta pada
aku di depan mbak Mirna sekitar tiga bulan setelah kami berkenalan pada suatu
acara di kampus. Seolah ada daya magis yang menggerakkan langkah-langkah dan
mata-mata kami untuk bertemu. Maka bertemulah kami.
Mbak Mirna dan bang Hendra bersahabat sudah sangat lama,
sudah sejak SMA sampai saat itu kira-kira tujuh tahunan lamanya. Dimana ada
bang Hendra, kemungkinan besar ada pula mbak Mirna disitu. Mereka hampir tiap
malam nongkrong bareng, aku sedikitpun tidak cemburu, sebab aku mengerti. Aku
paham akan keadaannya, Kak.
“Gimana kabar Hendra dek?”
“Bukannya yang sering bareng sama bang Hendra itu mbak Mirna
ya, haha” Tawa renyah serenyah biskuit kalengan mengalir dari bibir kami.
“Kamu pacarnya masa tidak tau sih dek” Mbak Mirna setengah
menggoda.
“Bang Hendra itu aneh ya mbak, baru-baru ini bahas soal
nikah masa”
“Lho kok cepet ya” Mata mbak Mirna berkilat, seperti ada
seberkas api disana, lantas ia memalingkan muka.
“Maka dari itu mbak, aku ini baru sembilan belas. Rasanya
aneh kalau diajak bicara soal itu, aku belum siap”
“Hmm...” Hening sejenak tak ada kata terucap dari mbak
Mirna, hanya dehemnya singkat. “Kamu minum dulu dek” Disorongkannya gelas
berisi cairan kehijauan beraroma kopi itu padaku. Entah, orang dihadapanku ini
selalu menyuruhku untuk minum sedari tadi.
“Mau tidak mau kamu harus siap dengan apapun, dek. Jodoh,
rejeki, m-a-u-t” Kata mbak Mirna lagi. Kata terakhir seolah mengambang dari
mulutnya. Dirinya sendiri pun ikut gamang sudah. Andai aku mahasiswi psikologi,
setidaknya aku sedikit banyak dapat membaca geraknya, sayangnya bukan.
Glek.. gleekk..
Dua teguk aku meminum es kopi itu, dingin jatuh ke dalam
lambungku. Aneh rasanya.
“Jadi gimana mbak?” Aku menyambung tanya sambil berurai
senyum, akibat mengingat bang Hendra.
“kamu itu dek, tidak akan bisa menikah dengan Hendra. Hendra
punyaku!”
Petang itu lenyap, gelap mendadak. Melayang aku terbang
meninggalkan dada dan dudukku. Tenggorokanku, perutku, hatiku rasanya
terbakar.-----
-------
Keesokan hari di televisi muncul berita begini ‘Seorang
mahasiswi tewas diracuni sahabat kekasihnya lewat segelas kopi’
Kak, waktu kunjunganku habis sudah. Baik-baik ya Kak!
Nannov, asal Pati. mahasiswi KPI (Komunikasi dan
Penyiaran Islam) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta konsentrasi Jurnalistik.
Cita-citanya ingin menjadi penumpas kejahatan entah bagaimanapun caranya. Ig :
@nannov11
Post A Comment:
0 comments: