Oleh M Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre
Terjatuh. Memang tak sampai lumpuh. Pecah. Memang
tak sampai menyampah. Gigil. Memang tak sampai dekil. Begitulah sejarah yang
kemarin tertakdir. Ini soal hati. Tidak semata wilayah nalar dan ide.
Menggambarkannya, tak sesempurna merasakannya.
Lalu, beberapa kutipan kitab-kitab kuno berkata
dengan jenius. Sebab kitab kuno adalah cara tuhan, hantu dan hutan bicara pada
mahluknya. Sedang cara manusia bicara kepadanya adalah lewat berdoa. Tapi
ingat, siapa merasa bicara dengan tuhan, ia membual; siapa merasa tuhan bicara
padanya, ia gila.
Dan, yang paling diingat dari kalimat di kitab kuno
itu adalah frasa, "Tuhan malas turun ke jalan untuk menuntun manusia dari
keterasingan dan kegelapan. Manusia sendiri yang harus menyalakan api, bukan
memadamkannya. Manusia sendiri yang harus menemukan cinta sejatinya demi
kehidupan yang diinginkannya."
Ya. Tak ada takdir yang tak selesai. Tak ada masa
depan yang tak digapai. Karena itu, para sufi bijak berkata, "bahagia bukan
berarti tak pernah menangis. Bijak bukan berarti tak pernah salah. Kaya bukan
berarti tak pernah susah. Sukses bukan berarti tak pernah lelah. Kalah bukan
berarti tak pernah menang."
Ya. Ini soal azwaja. Takdir berpasangan di luar
ketentuan bagi diriNya. Sebab ia memang tunggal dan mandiri (qiyamuhu binafsihi).
Di kalimat lainnya, soal "lupa" ini
penting. Sampai-sampai diulas oleh para cendekia. Bagaimana tidak menarik. Ini
soal mizan dan perimbangan. "Dan, carilah apa saja yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, tetapi janganlah
kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi (QS/Al-Qashash: 77)."
Ya. Soal lupa. Soal cerita. Soal cinta. Soal akhirat
dan dunia. Soal lupa, guruku Homi K Bhaba (lahir 1949) menuliskan bahwa,
"setiap momentum harus disebut sebagai rangkaian sebuah revisi di mana ada
keterbukaan dan kontingensi dalam keyakinannya untuk mendapatkan kebebasan.
Lupa adalah cara meneruskan kehidupan agar tak dicengkeram mimicry."
Di lain tempat, Milan Kundera (lahir 1929) berfatwa,
“kehidupan adalah keseluruhan dari segala sesuatu yang kita ingat. Jadi, yang
membuat kita takut pada kematian bukanlah hilangnya masa depan, melainkan
hilangnya masa lalu. Lupa merupakan sebentuk kematian yang hadir dalam
kehidupan.”
Sedang guru kita yang lain, Franz Kafka (1883-1924)
punya fatwa lebih yahud soal lupa dan usia. Menurutnya, "youth is happy
because it has the ability to see beauty. Anyone who keeps the ability to see
beauty never grows old. A book must be the ax for the frozen sea within us. You
are free, and that is why you are lost."
Singkatnya, lupa membuat kita mampu terpesona,
ingatan membuat kita kaya, penderitaan membuat kita melawan, kegagalan membuat
kita sabar, kebahagiaan membuat kita tahu bahwa hidup cuma sebentar: harus
berwarna.
Adakah yang masih kau lupa soal lupa, Asti?
Post A Comment:
0 comments: