Oleh M Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre
“Jangan jadi presiden jika mau jadi pelacur; jangan
melacur jika sudah jadi presiden” (fatwa rakyat).
Saya kira fatwa tersebut mendapatkan momentum
pembenarannya saat ini. Sebab, kita tidak tahu kapan presiden begundal berakhir
dan kapan presiden sungguhan dimulai. Semua masih sumir. Karenanya, dalam jejak
republik omong kosong, kita tak punya tempat pijak yang kuat untuk menemukan
pemimpin subtantif.
Dus, hanya ada satu cara untuk memperbaiki
Indonesia. Melalui tindakan mengganti presiden busuk dengan manusia pilihan yang
jenius. Dan, tentu bukan melalui buku-buku tebal yang ditulis orang luar: juga
bukan melalui pemilu yang boros dan curang; bukan pula lewat pelaksanaan
kurikulum pencetak begundal lokal.
Seorang kawan bertanya, "bagaimana menyikapi
kekalahan kaum idealis di peta ekopol Indonesia?" Sungguh buatku ini
pertanyaan maha sulit. Sebab bagiku, lebih nikmat jatuh dan mati sebagai tumbal
keadilan daripada berjaya karena kebohongan dan kebiadaban.
Karena itu, jika kita berjuang tak ada hasilnya,
janganlah bersedih. Lihatlah semesta. Tataplah sejarah lebih luas. Bacalah
dunia lebih detail. Tak semua orang besar berhasil saat hidupnya. Isa, Tan
Malaka, Chairil Anwar, Gandi, Van Gogh adalah sedikit contoh yang namanya
panjang bergelombang tanpa kesuksesan saat mereka hidup di dunia.
Dalam hidup ringkas dan keras ini, tidak peduli dari
mana kita berasal serta apa agamanya. Yang terpenting adalah ke mana kita akan
pergi dan apa yang akan kita wariskan. Kita harus bermetamorfosa, hijrah dalam
subtansi bahwa perjalanan ini terasa sangat menyenangkan, menantang,
menggairahkan. Dalam kesadaran hijrah terkadang mereka (kawan-kawan kita) tak
duduk di samping bangku kita. Ya. Lalu. Sendiri. Sepi. Sunyi. Gelap dan
berduri.
Ada banyak kisah yang mestinya mereka saksikan. Ada
tangis air mata yang dapat mereka usap. Terutama di tanah kering bebatuan. Di
zaman kejahiliyahan. Sering tubuhku terguncang. Oleng dan ambruk. Dihempas batu
jalanan. Ditikam musuh. Diinjak kawan beda tujuan. Karena beda pendapat dan
pendapatan. Hatiku tergetar menatap kering rerumputan. Tak ada makna. Alpa
makanan dan absen minuman. Sia-sia. Kami berpisah sambil saling tikam.
Perjalanan hidup ini pun akhirnya jadi saksi. Para gembala kecil menangis sedih
sekali. Sesedih-sedihnya. Tak paham lagi tujuan dewa jagatraya bekerja.
Kalian yang pernah bersamaku, memetik gitar di
gunung2; demontrasi di jalan2; ribut di gedung2 pemerintah. Ayok coba dengar
apa jawabnya. Jawaban para penguasa. Ketika kita tanya mengapa kalian KKN. Yah.
Bapak ibunya tlah lama mati. Mati kelaparan dan ditindas. Ditelan bencana tanah
ini. Bencana amoral dan tuna kuasa.
Kawan. Kini mari teruskan perlawanan. Kisah yang
sesampainya di laut kita kabarkan kepada semuanya. Kepada karang. Kepada bumi.
Kepada ombak. Kepada kekasih. Kepada matahari. Kepada para nabi. Walaupun kita
tahu, semua diam, semua bisu, semua buta. Tinggal aku sendiri. Ya. Sendirian dalam
perlawanan tak bertepi. Terpaku menatap langit. Ngungun. Terguguk sepi
kehabisan air mata.
Walau begitu jangan berhenti. Barangkali di sana ada
jawabnya. Ada solusinya. Dari sebuah tanya: mengapa di tanah Indonesia terjadi
banyak bencana; berjuta perselingkuhan penguasa-pengusaha; bermilyar kebodohan;
bertriliun pengkhianatan. Bahkan di rumah-rumah Tuhan.
Adakah karena Tuhan mulai bosan. Sehingga kirim
ujian. Timpakan cobaan. Sebal melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga
dengan dosa-dosa. Atau nalar tumpul. Atau alam mulai lelah. Bersahabat dengan
kita semua. Bercengkerama seperti sedia kala. Mari kini kita bertanya pada
hati, jantung, otak, nalar dan rumput yang bergoyang ditelan ketidakpercayaan.
Di atas segalanya, sejarah
kita adalah sejarah kekayaan, perampokan, perlawanan dan kemiskinan. Menjadi
pahlawan dengan demikian adalah keniscayaan. Sedang menjadi pengkhianat adalah
kebodohan. Mari berbaris menjadi pasukan. Kita pastikan takdir kemartabatifan
dan keberlimpahan sebagai ganti kemiskinan dan keterjajahan. Kini. Sekarang.
Atau tidak sama sekali.(*)
Post A Comment:
0 comments: