Oleh Ridho Ahmadiatma
Mahasiswa S1 Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia
dan Aktif dalam Forum Kajian dan Penulisan Hukum
Senayan
kembali mengalami stagnan dalam pembahasan RUU Pemilu setelah forum lobi
Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu 2019 tidak menemui titik temu terkait dengan
lima point krusial yakni sistem pemilu, presidential threshold, parliamentary
threshold, district magnitude, dan metode konversi suara.
Kepentingan
politik saling tarik ulur dalam menentukan kebijakan yang sangat mempengaruhi
bagaimana mekanisme konstitusional dalam merebut kekuasaan. Pemerintah dan DPR
sebagai bagian dari political system
sulit untuk bebas dari cengkraman kepentingan elit politik, namun disisi lain
mereka merupakan penyalur dari society
aspiration. Senayan tampaknya sangat sulit untuk menentukan political choice dalam setiap
point-point penting dalam RUU tersebut. Lantas mengapa begitu sulit bagi
pembentuk undang-undang untuk mencapai kata sepakat dalam RUU Pemilu?
UU Pemilu
Sebagai Instrumen Meraih Kekuasaan
Jhon Locke dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties
of Goverment” mengusulkan agar kekuasaan di dalam suatu negara itu dibagi dalam
organ-organ negara yang mempunyai fungsi berbeda, hal tersebut menurutnya
dilakukan untuk menghindari adanya absolute
power (pemusatan kekuasaan).
Dalam kontestasi politik sekarang, hal tersebut
ditunjang dengan sistem demokrasi dalam mendapatkan kekuasaan dalam organ-organ
negara. Indonesia sendiri sebagai negara “demokrasi” mewujudkan tata cara
mendapat kekuasaan tersebut melalui pemilu. Maka ketika akan membahas hal yang
dalam ruang lingkupnya untuk mendapatkan kekuasaan, perdebatan tidak dapat
dihindari. Seperti itulah yang saat ini terjadi di gedung senayan, para elit
yang mengatasnamakan “kepentingan rakyat” saling jegal dan terjadi lobby
politik disetiap sudut untuk agar kepentingan politik yang dibungkus rapi
dengan nama kepentingan rakyat dapat terlaksana. Apalagi sangat terkenal slogan
yang saling diucapkan para elit, “aspirasi rakyat tidak bisa dilakukan tanpa
ada kekuasaan” maka tidak heran RUU Pemilu tidak kunjung selesai. Padahal jika
para elit benar-benar berkerja untuk kepentingan rakyat, maka UU Pemilu tidak
perlu menjadi produk lima tahunan yang selalu dibongkar pasang.
Masyarakat dapat melihat sekarang, bagaimana
orang-orang yang dipilih lima tahun sekali itu meributkan tentang kekuasaan. Seperti
dalam salah satu point krusial tentang presidential-threshold,
seharusnya jika para elit merujuk pada PMK No. 14/PUU-XI-2013 yang menyatakan
bahwa pilpres serta pileg 2019 dilaksanakan serentak, maka sistem PT
inkonstitusional karena ambang batas dalam pilpres tidak dapat lagi ditentukan
berdasarkan hasil pileg karena dilakukan secara serentak. Jika ambang batas
untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden didasarkan pada pemilu 2014,
maka pemilu 2014 menghasilkan dua presiden karena didasarkan pada pemilu
tersebut.
Kurang
Intensifnya Pembahasan Antara Pemerintah dan DPR
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
sejak awal mengkritisi perencanaan RUU Pemilu dimulai dari pengajuan draf oleh
pemerintah yang seharusnya akhir 2014 draf RUU Pemilu tersebut sudah harus
diserahkan kepada DPR dan masuk dalam prolegnas 2015. Namun kenyataannya, RUU
Pemilu baru menjadi prolegnas 2016 bahkan drafnya baru diserahkan ke DPR bulan
Oktober 2016, hal ini jelas menjadi beban yang sangat kompleks dimana alokasi
waktu yang diberikan sempit. Dalam pembahasan RUU Pemilu, ada 543 pasal yang
dibahas dari pengabungan tiga subtansi undang-undang yang sebelumnya terpisah.
Kemudian ditambah dengan kurang intensifnya dan
sikap “keras kepala” pemerintah dalam beberapa point penting di draf RUU
Pemilu, pemerintah bersikukuh agar ambang batas dalam presidential-threshold sebesar 20-25% dan hal ini sangat
bertentangan dengan keinginan mayoritas di DPR yang mengingkan presentase
tersebut diturunkan bahkan dihilangkan, menariknya pemerintah mengancam akan
keluar dari pembahsan dan membuat perppu sebagai payung hukum pemilu 2019.
Hasilnya target pengesahan pada 28 April 2017 meleset, kemudian meleset lagi
dari target 18 Mei serta pada pidato sidang paripurna terakhir, Ketua DPR RI
Setya Novanto tidak memberikan kepastian kapan RUU Pemilu akan disahkan.
Pemilu 2019 terancam menggunakan payung hukum lama
dan KPU semakin ketar-ketir karena harus merampungkan teknis pemilu 2019 yang
tahapannya akan dimulai Oktober ini. Pemerintah dan DPR harus segera
mengesahkan RUU Pemilu paling lambat Agustus, agar dapat memastikan kesiapan
untuk pemilu 2019.
Post A Comment:
0 comments: