Oleh Mochammad Sa’dun Masyhur
Sontoloyo dan gendruwo dalam
beberapa pekan ini akan menjadi dua kosakata yang paling populer di jagat
politik nasional. Pantas, karena keduanya diucapkan oleh seorang Presiden, Joko
Widodo.
Sebagai orang jawa, saya
mengerti betul bahwa dua kosakata tersebut hanya diucapkan seseorang karena
kondisi tertentu, yaitu disaat terjadi suatu hal yang di luar batas kepatutan,
sesuai etika budaya Jawa. Atau sebuah umpatan, cari maki karena
kondisi yang terdesak.
Pertanyaannya apakah kondisi
politik nasional tepat dianalogikan dalam keadaan di luar batas
kepatutan?
Dan jika ujaran sontoloyo dan
genderuwo itu ditujukan pada pihak lain, musuh politik, pantaskah Presiden yang
berasal dari suku Jawa yang selalu menjunjung sopan santun mengucapkan hal
demikian?
Sesuai dengan pengakuan
Presiden bahwa kata sontoloyo itu disampaikan karena beliau memang sedang
jengkel. Sebab, masih menurut Presiden, ada pihak yang memakai cara-cara
politik yang tidak beradab, yang tidak beretika, yang tidak bertata krama
Indonesia. Cara-cara politik adu domba, cara-cara politik yang memfitnah, cara-
cara politik yang memecah belah hanya untuk merebut sebuah kursi, sebuah
kekuasaan, menghalalkan segala cara.
Sayangnya presiden tidak menyampaikan
apa, dimana, kapan dan siapa yang melakukan itu. Sehingga publik
malah berbalik menyerang, bahwa Pemerintahlah yang telah melakukan segala
cara untuk mempertahankan kekuasaan. Faktanya telah terjadi kriminalisasi
ulama, persekusi lawan politik, memperalat kepolisian dan lembaga hukum untuk
kekuasaan, dan memecah belah partai politik yang tidak sejalan.
Adapun tentang kosakata
genderuwo disampaikan karena menurut presiden banyak propaganda politik
yang membuat takut dan kekhawatiran. Setelah itu, masih menurut
Jokowi, membuat sebuah ketidakpastian. Kemudian menjadi keragu-raguan di
masyarakat. Menurutnya, cara berpolitik semacam itu tak beretika.
Lagi-lagi persoalan muncul
menjadi pergunjingan, karena Presiden tidak menyebut siapa, dimana,
dan kapan hal demikian terjadi? Dan apakah itu melanggar hukum atau hanya
dimaksudkan untuk membunuh karakter musuh politik?
Padahal dalam realitasnya
potensi yang paling besar untuk menakut-nakuti dan menjadi
"genderuwo" adalah mereka yang sedang memegang kekuatan
bersenjata dan kekuasaan. Selebihnya tuduhan itu kepada pihak lain adalah
fatamargana. Atau malah menjadi cermin bahwa umpatan itu karena sikap panik dan
merasa terancam akibat elektabikitas Jokowi yang cenderung terus menurun.
Dalam dunia persilatan
politik, permainan kata adalah hal yang biasa, tetapi harus
disertai fakta-fakta. Jika tidak maka seperti anak kecil di Jawa yang beranjak
dewasa, rakyat akan tahu bahwa genderuwo hanyalah momok yang sengaja
dilontarkan untuk menakut-nakuti agar anak-anak tidak rewel dan segera beranjak
tidur.
Boleh jadi ada motif politis
lainnya, yakni Presiden Jokowi sedang menjalankan praktek politik playing
victim. Seolah-olah pemerintahan sekarang ini sedang didholimi, menjadi
korban, dan harus dibela. Hal yang sah-sah saja dilakukan.
Dalam politik nasional gaya
semacam ini banyak dilakukan oleh PKI. Contohnya, meskipun jelas dan nyata
seluruh rakyat mengetahui bahwa PKI melakukan pemberontakan pada tahun 1965,
namun mereka tetap menyatakan sebagai korban Orde Baru, minta kompensasi
dan menuntut segala macam.
Dalam lingkup politik
internasional, kalangan Yahudi yang paling getol menggunakan cara ini. Oleh
karena itu dalam setiap kisah Nazi Jerman, Yahudi selalu memposisikan
diri sebagai korban. Dan model agitasi politik inilah yang digunakan
Yahudi di seluruh dunia.
Jika praktek politik playing
victim ini yang dipilih Presiden Jokowi dan tim pemenangannya, maka inilah
ceruk bukti bahwa pemerintah memang tidak memiliki prestasi yang patut
dibanggakan, sehingga perlu terus memproduksi momok-momok sontoloyo dan
gerenduwo.
Apakah ini tanda-tanda zaman
akan datangnya Presiden Baru?
Penulis adalah Alumnus
Megister Perencanaan dan Kebijakan Publik. Universitas Indonesia
Post A Comment:
0 comments: