![]() |
Ilustrasi Dunia Kerja |
Oleh Muhammad Syafii
Mahasiswa Fakultas Syariah Islamiyah,
Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir
Dewasa ini, wacana kesetaraan gender sudah ramai diperbicangkan;
baik dari kalangan intelektual, aktivis sosial, kaum perempuan hingga para
politikus Indonesia. Pro kontra seolah
menjadi sebuah keniscayaan, jargon “Kesetaraan
Gender” terus menggema mengingat banyaknya diskriminasi gender yang terjadi di
negara yang mempunyai jumlah penduduk 265 jiwa ini. Lantas, bagaimana
menanggapi hal tersebut dalam perspektif Islam?
Upaya menyetarakan gender antara laki-laki dan
perempuan dalam semua aspek kehidupan pertama kali muncul di Barat, awal abad
pencerahan yaitu abad ke-17. Berawal dari gerakan feminis sekelompok aktivis
perempuan Barat yang kemudian menjadi sebuah organisasi yang banyak diadopsi
universitas-universitas ternama melalui program “women studies” dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan dikeluarkanya [Convention on the Elimination
of All Forms of Discrimination Againt Women] sebagai bentuk dukungan terhadap
kesetaraan gender. Islam sendiri mempunyai pandangan yang final menyikapi isu
tersebut.
Ada beberapa poin yang kiranya bertolak belakang dengan
produk pemikiran Barat yang disosialisasikan selama ini, salah satunya adalah
kesetaraan gender kebebasan bekerja. Menurut pandangan Syaikh Tohthowy, pakar
hadis dari Universitas Al-Azhar mengatakan: “Kelembutan, pemalu dan sifat kasih
sayang adalah perhiasan paling berharga yang dimiliki oleh perempuan.”
Bagaimana mungkin seorang perempuan dapat menggatikan posisi laki-laki bekerja
siang malam sebagai tulang punggung keluarga?
Adanya segmentasi jenis kelamin angkatan kerja,
praktik penerimaan dan promosi karyawan yang bersifat diskriminatif atas dasar
gender bukan semata mencekik hak perempuan melakukan kebebasan bekerja
sebagaimana yang terus digembor- gemborkankan aktivis sosial dan kaum
perempuan. Justru dengan adanya ketentuan tersebut akan memuliakan kaum
perempuan untuk memprioritaskan dirinya untuk mendidik dan merawat keturunan
agar lebih berkualitas guna meningkatkan indeks kecerdasan anak-anak Indonesia.
Lebih dari 14 abad yang lalu Islam datang
mengajarkan bagaimana menjadi perempuan yang baik dan berkompeten tanpa melampaui
kodratnya sebagai perempuan. Dari sini pula Muhammad Ali al Ghomidy dalam
sebuah artikel yang bertajuk “Muqaranatul al Nadzroh at Takamuliyyah al
Islamiyyah bayna al Rajul wa al Mar’ati” menjelaskan pandangan Islam mengenai hubungan
laki-laki dan perempuan adalah hubungan saling melengkapi, bukan hubungan
persaingan yang diinginkan oleh konsep sekuler. Allah berfirman: “Dan anak
laki-laki itu tidak seperti anak perempuan” {Q.S Ali Imran 3:36}.
Dari sini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
konsep keadilan menurut pandangan Barat; menyetarakan semua aspek hak laki-laki
dan perempuan itu sangat bertolak belakang dengan Islam, menyerukan atas nama
keadilan, sedangkan Islam sendiri mendefinisikan adil dengan keseimbangan
antara suatu yang lebih dan kurang dan memberikan sesuatu yang semestinya
kepada orang yang berhak terhadap sesuatu itu.
Esensi keadilan sendiri yang relevan dan
komprehensif adalah menurut sudut pandang Islam, memberikan keseimbangan sosial
untuk mencapai keharmonisan. Dampak fatal menyebarnya gerakan kesetaraan gender
ini adalah banyaknya wanita karir, khususnya di Indonesia. Ini sangat
berpengaruh terhadap anak-anaknya. Seorang wanita karir biasanya pulang ke
rumah dalam keadaan lelah setelah seharian bekerja, hal ini secara psikologis akan
berpengaruh terhadap tingkat kesabaran yang dimilikinya dalam mengurus dan
mendidik anak, sehingga banyak terjadi kekerasan pada anak. Suvei berdasarkan
penelitian Hilis, et.al (2016) berjudul “Global Prevalence Year Violence Againt
Children: A Systematic Review and Minimum Estimates” angka kekerasan tertinggi
terhadap anak terjadi pada tahun 2014. Ada lebih dari 714 juta anak, atau 64
persen dari populasi anak di dunia mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan.
Dari data ini setidaknya memberikan kesadaran
kepada para orang tua, khususnya para ibu untuk lebih memprioritaskan anak
daripada pekerjaan, mendidik dan mengurusnya lebih berkualitas lagi. Allah
menyinggung tugas khusus yang diemban para wanita dalam surat Al-Baqarah yang
artinya: “Dan ibu-ibu hendaknya menyusui anaknya selama dua tahun penuh, bagi
yang ingin menyusui secara sempurna” dan tugas laki-laki sebagai pencari nafkah
untuk mencukupi semua kebutuhan istri dan anaknya, dalam lanjutan ayat diatas:
“Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang
patut.”
Islam sudah memberikan proporsi yang sesuai antara
laki-laki dan perempuan; sesuai dengan kemampuan dan kodratnya masing-masing
tanpa adanya salah satu pihak yang dirugikan. Menurut perspektif Islam yang
telah penulis paparkan di atas secara komprehensif menanggapi isu persamaan
gender antara laki-laki dan perempuan kiranya cukup untuk dibuat pertimbangan lebih
lanjut, mengkaji ulang gerakan yang terus disosialisasikan Barat tersebut
sebelum benar-benar direalisasikan di Negara Indonesia.
Post A Comment:
0 comments: