Oleh:
Rofi Hiznul Farkhamni
Peneliti
Of Islamic Studies STAINU Temanggung
Sebagai pengamat lapangan saya semakin yakin bahwa
fluktuasi cabai akan jadi kontroversial baik dikalangan petani maupun konsumen.
Mengapa begitu, seorang petani pasti menginginkan agar hasil panen melimpah,
dengan menaruh harapan kedepan harga bisa mencukupi kebutuhan hidup. sedang
pada kalangan konsumen meminta agar harga dipasaran bisa turun. Seperti pada
ungkapan Jawa “wong tuku njaluk murah,
wong adol karepe bathi”, itulah sedikit ungkapan yang menjadikan
kontroversi antara konsumen dan produsen.
Buktinya hal ini masih
menjadi perdebatan pada masyarakat, baik kalangan produsen (petani) maupun
konsumen (pembeli) bahkan akhir-akhir ini di sosmed sepenuhnya harga tiap
daerah sangat fluktuatif dan berbeda-beda, contohnya saja dalam grup facebook “petani cabai temanggung”. Jangankan di sosmed/media
massa; di daerah saya, contohnya saja para petani cabai lereng sindoro, Bansari
Temanggung.
Kepala Dinas Perindustrian
dan Perdagangan Provinsi Jambi Ariansyah, mengatakan bahwa HPP (Harga Pokok
Petani) berada pada Rp 24 ribu. Artinya diangka tersebut petani akan untung,
karena selisih biaya produksi dengan harga jual dan daya beli masyarakat
bersaing. (Jawapos.com, 11/3/2019).
Menurut saya harga
cabai ini tetap saja mengikuti hukum pasar. Jika permintaan banyak dan barang
sedikit maka harga akan tinggi, dan sebaliknya jika suplai banyak dan
permintaan lebih rendah maka harga akan turun. Sepertinya hukum ini tak bisa
ditawar, bahkan sekelas Presiden pun tidak bisa “lancang” ikut campur
menentukan harga pasaran cabai.
Pemerintah dianggap tak
pecus dalam menyikapi & mengatasi fluktuasi harga yang semakin meroket,
belum lagi ketika oknum pengepul ikut campur pada masalah jual beli, mereka
dianggap mengambil kesempatan untuk menaikkan harga dipasaran agar mereka
gunakan untuk memperoleh keuntungan sepihak.
Solusi
Pertanian Masa depan
Berdasarkan penelitian, curah hujan yang tinggi merupakan faktor utama penyebab
timbulnya beberapa penyakit pada tanaman cabai. Bulan-bulan di mana curah hujan
tinggi, merupakan malapetaka bagi para petani cabai. Pada musim hujan ini,
penyakit yang menyerang tanaman cabai seperti antraknosa (hama patek), busuk batang, bercak daun, busuk akar,
kriting, bulai, layu bakteri, kembur, ulat, lalat buah, trips dan lain sebagainya akan semakin menjadi-jadi. Sebut saja
serangan cendawan dan bakteri. Ini akan diperparah jika sistem penanamannya
masih cara konvensional alias belum menerapkan sistem pertanian secara
intensif.
Menurut saya kwalitas
adalah penentu suatu barang, jika kwalitas / produktifitas kita baik, maka
secara otomatis harga akan mengikuti. Seperti perumpamaan Jawa yang mengatakan
“ono rego ono rupo”, artinya jika
kita mampu memproduksi kwalitas varietas cabai yang unggul, tanpa pestisida
maupun kelebihan bahan kimia, maka hasil produktifitas kita akan lebih diterima
pasar, dan mampu mengekspor baik mancanegara maupun luar negeri, begitu juga
sebaliknya, maka dari itu penulis hanya menghimbau pada pemerintah agar lebih
memperhatikan dan cermat pada petani, tak hanya soal bantuan pupuk dan
lain-lain, namun perlu adanya penyuluhan pertanian berupa pengetahuan dan
memperkenalkan tekhnologi hortikultura pada petani.
Akhir-akhir ini pemerintah
memang memberi bantuan pada petani kaitannya dengan pupuk, sprayer, mulsa
plastik hitam dll, namun menurut saya, itu sama saja., karena sistem pertanian
masih belum produktif dan masih jauh dari kwalitas suatu barang. Mengapa? Bayangkan
saja, pada praktik lapangan dalam faktanya para petani, (tanamannya) masih
mengandalkan pada alam, karenanya tanaman jadi kurang kondusif terhadap
lingkungan, mengingat cuaca ekstrim yang berakibat fatal pada tanaman.
Harapan saya pemerintah
selain membantu suplai pupuk, subsidi pada beberapa kelompok tani, juga bisa
meng-handle para petani agar tidak
terjadi kesenjangan harga maupun
suplai barang agar terjadi keseimbangan baik produsen maupun konsumen.
Sangat sederhana, saya
pernah mencoba bereksperimen / mencoba pada varietas tomat servo, di halaman
depan rumah menggunakan tabulampot dan tanah dicampur dengan pupuk kandang,
lalu diatasnya hanya bermodal plastik bening untuk melindungi tanaman dari
serangan cuaca, kemudian saya bandingan dengan media tanam yang berada di alam
bebas, ternyata menarik sekali jika kita mampu meminimalisir insektisida maupun
fungisida, selain hemat ternyata hampir tak ada bercak daun pada daun tomat
tersebut.
Jadi, secara kesimpulan
adanya fluktuasi harga diakibatkan ketidak seimbangan antara pasokan
produktifitas cabai dengan permintaan pasar, untuk itu dari pihak pemerintah
agar supaya cepat tanggap dan mengatasi ketidak seimbangan harga, bukan secara
impor bahan pangan, melainkan menurut saya agar para petani dididik untuk
beralih pada pertanian yang lebih maju dan tanpa mengandalkan musim, dengan
begitu hasil panen bisa diatur tanpa takut cuaca, serta meminimalisir hama
penyakit sehingga hasil tani semakin baik dan secara berkesinambungan berdampak
pada keseimbangan bahan pangan juga kesejahteraan petani.
Post A Comment:
0 comments: