Oleh Muhammad Lutfi
Sebenarnya, diri manusia itu
terlahir dari siapa? Dari ibu atau bapak, atau dari batu? Manusia secara umum
sudah bisa memantaskan diri untuk berpikir tentang hal yang demikian. Jelaslah
bahwa manusia terlahir dari seorang perempuan yang dinikahi seorang lelaki yang
disahkan oleh kedua orang tua masing-masing mempelai dan melalui upacara adat
setempat dan undang-undang negara dan agama. Bahwa, sebelum nikah mungkin perlu
istilah ta’arufan dan mengenal pacaran kalau istilah kekinian. Tapi harus tahu
efek negatif atau positifkah yang ditimbulkan dari sekedar ta’arufan atau
pacaran.
Kalau ta’arufan saya yakini bahwa
tidak akan menimbulkan masalah yang emosional di antara keluarga calon yang
akan menikah. Sebab, istilah ta’arufan hanya sekedar bertetangga dan mengenal
baik antara lelaki dan wanita. Seperti halnya konco akrab. Tetapi tetap ada
batasan yang mengatur tersebut dalam norma adat istiadat. Istilah yang lebih
membingungkan orang lagi, ya istilah konco mesra.
Seandainya kekancan tapi
tidak usah mesra kan bisa. Sebab kekancan bagi orang Jawa itu untuk mengusir
kesendirian dan menunjukkan jati diri manusia yang lemah. Karena sunnatullah
sebagai mahluk sosial, manusia harus hidup dengan bantuan orang lain. Misalkan,
pergi ke pasar membeli sayur dan beras untuk dimasak di rumah. Tanpa adanya
penjual, tidak akan mungkin ada hubungan antara penjual dan pembeli. Dan tidak
ada tempat yang namanya pasar.
Tetapi, untuk istilah pacaran, dan
diterapkan pada budaya bangsa Indonesia yang majemuk ini rasanya sah saja.
Tetapi, aturan dan norma, serta akal sehat harus diberdayakan dan diarahkan
secara matang. Melalui apa? Jelaslah melalui pendidikan secara mendasar dari
keluarga dan lingkungan. Kalau diri manusia sudah bisa mendidik keluarga secara
tumprap pantrap ing panggonan, senakal-nakalnya atau sembeler-mbelernya anak,
pasti akan mau menghargai orang lain dan menerapkan unggah-ungguh dalam
bersosial. Jadi, unggah-ungguh ini adalah jati diri khas orang Jawa. Kenapa
saya katakan Jawa, ataupun juga Nusantara yang masih meliputi Sumatera,
Kalimantan, dan wilayah teritorial Indonesia?
Karena ciri budaya yang dibawa para
pendatang untuk mendidik orang-orang Indonesia dan mengenalkan leluhur kita
kepada cara pandang, adalah khas budaya orang-orang Timur yang wilayahnya
sekarang masih terdapat di desa-desa dan pesisir. Sedangkan, untuk budaya orang
kota, mereka mewarisi gaya berpikir dan cara pandang khas Eropa yang
ditinggalkan para kompeni sewaktu dahulu. Sehingga, kontradiksi budaya kita ada
tiga kebudayaan yang diterapkan dan menjadi akulturasi kebudayaan Indonesia.
Budaya lokal, budaya timur, dan budaya barat. Gaya budaya lokal masih menjaga
warisan adat dan selalu menghormati leluhur atau nenek moyang mereka yang telah
menjadikan tanah air tempat tinggal anak cucunya. Sedangkan, gaya budaya timur
mengajarkan untuk menerapkan norma dan moral dalam setiap berperilaku. Kepada
diri sendiri, orang lain, dan yang kita hadapi itu orang yang berumur lebih tua
atau lebih muda, ataupun sebaya dengan diri sendiri. Dan untuk budaya barat
atau eropa, kita sudah melihat cara berpikir yang cerdas dan rasional dan
selalu melangkah untuk mengembangkan dunia.
Dari ketiga akulturasi budaya ini,
sudahkah kita ketahui bahwa kita ini bangsa yang kaya budaya, kaya pengetahuan,
kaya falsafah, dan pengetahuan. Dapatkah kita lihat keanekaragaman mahluk
sosial yang hidup di tanah air yang luhur dan menjaga kesatuannya ini? Mari
kita sama-sama renungkan jati diri budaya bangsa kita. Kita ini macan atau
singa? Lebih baik memilih macan. Bahkan raja-raja jawa sudah bertafakur untuk
memilih macan sebagai simbol keagungan. Macan itu seorang raja dihutan,
berkuasa pada wilayahnya dan tidak mau menjamah wilayah yang lainnya. Jadi,
kalau harga diri kita diinjak dan disenggol, marilah semua serentak menjadi
para ksatria yang patriot, dengan mempertahankan rumah kita atau tanah air
sebagai tempat perlindungan dan pertahanan terakhir.
Jadi jangan mau dijamah kedaulatan hidup
manusia yang utuh. Prinsip sila pancasila tentang keadilan sosial mesti
diterapkan secara mutlak dan nyata. Wes to, kita ini tertinggal dari kemajuan
eropa. Wes to, kita ini masih melangkah mengembangkan diri. Asalkan mau menjaga
jati diri dan peduli pada wong cilik, negara kita akan makmur tanpa kekurangan
sandang pangan. Asal bisa menerapkan urip sak madya, urip manusia tidak akan
miskin dan sambat.
Sadarilah kawan, bahwa kita itu banyak falsafah dan ajaran
dari para filsuf-filsuf asli negeri kita. Tetapi falsafah itu telah usang,
karena disepelekan dan tidak diberlakukan dengan memperdulikannya. Bahkan dalam
Syiir Tanpo Waton, di dalam salah satu baitnya berbunyi, “Iri lan meri sugihe
tonggo, mulo atine peteng lan nisto”.
Bermakna bahwa sebagai manusia yang hidup
mandiri dan menerima rejeki sesuai dengan prinsip, idealisme, dan kejujuran
yang dia perjuangkan harus bisa menerima dan bersyukur atas segala usaha yang
telah dilakukan dan jangan sampai memiliki rasa iri dan dendam di hati kepada
tetangga dan saudara. Siapa tahu, bahwa dia memeproleh semua itu dengan cara
yang tidak benar. Hanya tuhan dan dirinya sendiri yang tahu. Maka selalu
bersyukur dan menerapkan prinsip sak madya khas orang Jawa. Hidup akan
mengalami fase yang namanya kenikmatan.
Solo, 12 November 2019
Tentang Penulis
Muhammad Lutfi, adalah seorang
sastrawan Indonesia yang lahir di Pati, pada tanggal 15 Oktober 1997. Merupakan
putra dari Slamet Suladi dan Siti Salamah yang menyelesaikan S-1 Sastra
Indonesia di UNS Surakarta. Yang sudah memiliki banyak prestasi dan pencapaian,
juga penghargaan di bidang sastra. Lutfi, memiliki 6 buku karya sastra yang
ber-ISBN, yang berisi tentang kritik dan filsafat pada budaya dan hidup
manusia.
Post A Comment:
0 comments: